Menu

Opini · 31 Mei 2025 20:19 WIB ·

Mengikuti Jejak Tarekat Naqsyabandiyah di Ketapang


					Mengikuti Jejak Tarekat Naqsyabandiyah di Ketapang Perbesar

0
0

Oleh : H. M. Syafi’ie Huddin, S.Ag.
(Wakil Ketua Yayasan Al-Jihad Ketapang).

Kepopuleran Tarekat Naqsyabandiyah di Kalimantan Barat berawal dari hubungan khusus antara para Sultan Pontianak dengan keluarga Zawawi. Hubungan ini dimulai ketika keluarga Kesultanan Pontianak mendaulat Syaikh Shalih al-Zawawi dan putranya, Syaikh Abdullah al-Zawawi, sebagai mentor bagi para pelajar asal Pontianak yang sedang menuntut ilmu di Makkah. Syaikh Abdullah al-Zawawi bahkan pernah tinggal cukup lama di Pontianak, yaitu dari tahun 1894 hingga1908, dan menjabat sebagai mufti Kesultanan sejak tahun 1896 hingga1908.[1]

Pengaruh Syaikh Shalih al-Zawawi tercatat sangat besar dalam lingkungan Kesultanan Pontianak. Pada periode antara tahun 1850 hingga 1900, para sultan, anggota keluarga kerajaan, serta kalangan ulama di Pontianak diketahui memiliki keterikatan dengan Tarekat Naqsyabandiah Mudzhariyah yang dikenalkan oleh tokoh tersebut.

Syaikh Shalih al-Zawawi merupakan salah satu murid utama dari Syaikh Muhammad Mudzhar, yang dikenal sebagai inisiator Tarekat Naqsyabandiyah Mudzhariyah, salah satu cabang dari Tarekat Naqsyabandiyah yang besar. Beliau adalah ulama besar tasawuf asal Madinah. Tarekat ini mulai berkembang di Haramain, yang merupakan pusat spiritual dan intelektual dunia Islam, sejak abad ke-19 M. Di antara ketiga murid utama Syaikh Muhammad Mudzhar, Syaikh Shalih al-Zawawi memiliki peran yang sangat sentral dalam sejarah dan perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Mudzhariyah.

Syaikh Shalih al-Zawawi memiliki salah satu murid asal Madura, yaitu Syaikh Abdul Azhim al-Manduri (w. 1917). Syaikh Abdul Azhim al-Manduri tidak hanya menerima riwayat Tarekat Naqsyabandiyah Mudzhariyah langsung dari Syaikh Shalih al-Zawawi, tetapi juga dari Syaikh Abdul Karim al-Syarwani al-Makki (w. 1909). Selain itu, Syaikh Abdul Azhim al-Manduri merupakan salah satu guru dari Syaikhona Kholil Bangkalan Madura (w. 1925).[2]

Setelah hubungan erat antara Sultan Pontianak dan keluarga Zawawi berakhir, tidak ada satu pun pemimpin setempat yang tampak berinisiatif mengangkat penerus. Akibatnya, Tarekat Naqsyabandiyah perlahan menghilang, dengan masa keruntuhannya yang kurang lebih bersamaan dengan runtuhnya Kesultanan Pontianak.[3] Sejak awal abad ke-20 M, dan terutama setelah kemerdekaan, perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Mudzhariyah di lingkungan keluarga Keraton Kesultanan Pontianak tidak lagi diketahui.[4]

Pada tahun 1937, salah satu murid Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, yaitu KH. Fathul Bari, datang ke Kalimantan Barat. Sebagai seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Mudzhariyah, beliau merupakan tokoh pertama yang mengunjungi masyarakat Madura di wilayah tersebut. Secara teratur, beliau terus mendatangi komunitas perantau Madura dan secara resmi membaiat sejumlah besar dari mereka.[5]

Tarekat Naqsyabandiyah Mudzhariyah di Kalimantan Barat mendapat tenaga baru pada tahun 1950-an, berkat kehadiran sejumlah kiai dari Madura. Sebelumnya, warga Madura memang telah mulai menetap di Kalimantan Barat sejak abad ke-19 .[6] Mereka umumnya bermukim di sepanjang pesisir barat pulau ini dan secara terus-menerus berdatangan dari Madura.

KH. Fathul Bari, seorang ulama asal Madura, berasal dari Desa Ombul, Kabupaten Sampang. Pada paruh pertama abad ke-20, beliau menjadi pendakwah Islam di Kalimantan Barat. Kedatangan beliau atas permintaan H. Hasyim Yamani, pendiri Masjid Babussalam sekaligus pendiri pondok pesantren pertama di Kalimantan Barat yang juga bernama Babussalam. Selama kurang lebih dua dekade, KH. Fathul Bari berdakwah dan menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Beliau wafat pada tahun 1960 dan dimakamkan di Peniraman, Mempawah, Kalimantan Barat.[7]

Pada tahun-tahun akhir kehidupannya, terutama sejak awal 1950-an, KH. Fathul Bari mulai mengirimkan khalifah-khalifahnya secara bergantian ke Kalimantan Barat, selain beliau sendiri yang juga berkunjung ke sana. Beliau mengangkat dua orang khalifah, yaitu menantunya, KH. Zainal Abidin, dan KH. Mahfudz. KH. Zainal Abidin kemudian memberikan ijazah kepada iparnya, KH. Darwisy, yang setelah menunaikan ibadah haji mengganti namanya menjadi KH. Ismail. Sementara itu, KH. Mahfudz memberikan ijazah kepada putranya, KH. Maksum.

KH. Mahfudz [8], menerima ijazah Tarekat Naqsyabandiyah pada tahun 1954. Setahun kemudian, atas amanah dari KH. Fathul Bari, beliau dikirim untuk pertama kalinya ke Kalimantan. Dalam perjalanannya, KH. Mahfudz secara bergiliran dengan para khalifah lainnya melakukan perjalanan keliling, hingga akhirnya tiba di Kabupaten Ketapang. Di wilayah selatan Kalimantan Barat tersebut, beliau menjalankan tugas untuk mengenalkan Tarekat Naqsyabandiyah kepada masyarakat Madura setempat, sekaligus membaiat mereka secara resmi dalam tarekat tersebut.

Lainnya: SMP Al-Jihad Ketapang Gelar Sosialisasi Pembuatan Naskah Soal Sumatif dan Persiapan Akreditasi Sekolah SMP Al-Jihad Ketapang Gelar Sosialisasi Pembuatan Naskah Soal Sumatif dan Persiapan Akreditasi Sekolah SMP Al-Jihad Ketapang Gelar In House Training SMP Al-Jihad Ketapang Gelar In House Training Mereview Stigma Perempuan Tidak Harus Sekolah Tinggi Mereview Stigma Perempuan Tidak Harus Sekolah Tinggi

Suatu ketika di Ketapang, KH. Mahfudz pernah berhadapan dengan seorang wakil terakhir dari cabang tarekat Kesultanan Pontianak yang telah dibaiat oleh Sayyid Ja’far. Orang itu menjadi dedengkot para tukang sihir, menggunakan wirid dan zikirnya untuk melakukan perbuatan yang tergolong sebagai ilmu hitam atau tenung. Ia menetap di Ketapang pada tahun 1950-an. Namun, setelah melalui sebuah pertandingan adu kekuatan batin, KH. Mahfudz berhasil mengalahkannya dan membimbingnya ke jalan yang benar.[9] KH. Mahfudz wafat pada bulan Oktober 1996 dan dimakamkan di kampung halamannya, yaitu di daerah Kajuk, Sampang, Madura.

Pada kuartet pembinaan selanjutnya, perjalanan keliling ke Kalimantan Barat diisi oleh KH. Maksum [10]. Beliau menerima ijazah dari ayahnya pada tahun 1985. KH. Maksum berdomisili di Kepanjen, Malang. Selain fasih berbahasa Madura, beliau juga menguasai bahasa Jawa dan Indonesia. Kemampuan ini menjadi keunggulan tersendiri dibandingkan dengan sebagian besar kyai lainnya yang masih berdakwah menggunakan bahasa Madura. Berkat pendekatan bahasa yang lebih inklusif tersebut, KH. Maksum mampu menjangkau masyarakat Melayu dan memperkenalkan dakwahnya dengan lebih efektif. Pada masa beliau, dakwah mengalami kemajuan besar di kalangan masyarakat Melayu.[11]

Jamaah binaan KH. Maksum di Kalimantan Barat tersebar luas, khususnya di Kabupaten Ketapang. Pada masa itu, Kabupaten Ketapang masih menyatu dengan Kabupaten Kayong Utara, sebelum terjadinya pemekaran wilayah. Setiap tahunnya, KH. Maksum rutin mengunjungi jamaahnya di Kabupaten Ketapang, yang sebagian besar bermukim di daerah pesisir, mulai dari Kecamatan Teluk Batang hingga Kecamatan Kendawangan.

KH. Maksum wafat pada hari Kamis (malam Jum’at), tanggal 15 Januari 2004 Masehi, bertepatan dengan 23 Dzulqa’dah 1424 Hijriah, pukul 23.00 Waktu Arab Saudi. Beliau meninggal dunia saat sedang melaksanakan Sa’i usai Tawaf Qudum, bersama jamaah yang beliau pimpin. Jenazah beliau dimakamkan di kompleks pemakaman Soraya, Makkah.[12]

Setelah wafatnya KH. Maksum, pembinaan terhadap jamaah Tarekat Naqsyabandiyah, khususnya di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, dilanjutkan oleh putra beliau, KH. Nasrullah. Selama kurang lebih dua dekade, beliau secara rutin hadir setiap tahun untuk mengunjungi dan berdakwah kepada para jamaah yang sebelumnya dibina oleh ayahandanya. Dalam beberapa kesempatan, beliau turut didampingi oleh ibundanya, istri dari KH. Maksum.

Proses pembinaan jamaah Tarekat Naqsyabandiyah di Kabupaten Ketapang yang dilanjutkan oleh KH. Nasrullah sering kali juga mendapat kunjungan dari saudara kandung almarhum KH. Maksum, yaitu KH. Mubesyir Mahfudz (w. 2020) dan KH. Mustofa Mahfudz (w. 2013). Kehadiran mereka sangat penting dalam menjaga kesinambungan ajaran dan semangat tarekat di kalangan jamaah. KH. Nasrullah sendiri wafat pada hari Kamis, 6 Mei 2021, pukul 16.30 WIB, di kediamannya di Malang, Jawa Timur.[13]

Tugas pembinaan jamaah kini diteruskan oleh KH. Moh. Faisol Maksum, putra pertama KH. Maksum dan saudara kandung tertua dari KH. Nasrullah. Setiap tahunnya, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, beliau melaksanakan pembinaan dan dakwah yang tidak hanya terbatas di wilayah Kabupaten Ketapang, tetapi juga mencakup Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Kubu Raya, dan Kota Pontianak.

Untuk mewadahi para jamaah Tarekat Naqsyabandiyah, di Kabupaten Ketapang telah dibentuk sebuah perkumpulan bernama Jam’iyyah Ahlith-Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah An-Naqsyabandiyah. Pada awal berdirinya, sekretariat jam’iyyah ini beralamat di Komplek Masjid Nur Ilahi, Sungai Kinjil. Sejak didirikan, kepengurusannya beberapa periode dipimpin oleh KH. Abdullah Yasin (wafat 2017). Setelah beliau wafat, kepemimpinan jam’iyyah ini dilanjutkan oleh KH. Moh. Fasiol Maksum.

Perkumpulan ini didirikan dengan tujuan untuk pembinaan rohani dan keagamaan, yang meliputi kegiatan dzikir berjam’ah, wirid, pengajian rutin, serta pelestarian tradisi tarekat. Selain itu, perkumpulan ini juga berfungsi untuk menjaga silsilah dan amalan khas Tarekat Naqsyabandiyah. Tak hanya itu, perkumpulan ini juga berperan sebagai penghubung antara pengurus tarekat di tingkat desa/kecamatan dan mengatur jadwal kegiatan dakwah yang dilakukan oleh para mursyid atau pembina yang akan hadir di Kabupaten Ketapang dan sekitarnya.

Wallahu a’lam.

__________________

[1] A. Ginanjar Syaban. 2020. Menelusuri Jejak Tarekat Naqsyabandiah Muzhhariah di Kesultanan Pontianak dan Hubungannya dengan Madura. Diunduh 12 Mei 2025 dari https://sanadmedia.com/artikel/menelusuri-jejak-tarekat-naqsyabandiah-muzhhariah-di-kesultanan-pontianak-dan-hubungannya-dengan-madura/ *** [2] Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan atau Mbah Kholil adalah ulama besar Indonesia yang berasal dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Penyebutan syaikhona di depan namanya merupakan bentuk penghormatan karena beliau adalah guru dari para syekh atau ulama tanah air. Tak terhitung santri-santrinya yang di kemudian hari menjadi ulama besar dan berpengaruh. Salah satunya KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. *** [3] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan,1992, h.121. *** [4] A. Ginanjar Syaban. 2020. *** [5] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, h.121. *** [6] Ibid., h.122. *** 7 ASWAJADEWATA.COM, 2019. KH. Fathul Bari, Perintis Thariqat Naqsyabandiyah di Kalimantan Barat. Diunduh 12 Mei 2025 dari https://www.aswajadewata.com/kh-fathul-bari-perintis-thariqat-naqsyabandiyah-di-kalimantan-barat/ *** [8] Kakeknya KH. Moh. Faisol Maksum (Ketua Umum MUI Kabupaten Ketapang / Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ghufron Ketapang). *** [9] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, h.121. (Pengakuan KH. Mahfudz sendiri saat diwawancari Martin van Bruinessen pada tanggal 22-2-1988. Orang dimaksud itu bernama Ismail). *** [10] Ayah kandung KH. Moh. Faisol Maksum. *** [11] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, h.181. *** [12] “Meninggalnya Kyai Maksum saat melaksanakan Sa’i yang ketujuh usai Tawaf Qudum. Ketika berada di lampu hijau antara bukit Safa dan Marwah, beliau terjatuh pas dipangkuan saya.” Ujar H. Muhammad Dhofir, yang sama-sama melaksanakan ibadah haji dibawah bimbingan almarhum musim haji 1424 H./2004 M. *** [13] Keterangan KH. Moh. Fasiol Maksum, Kamis (6/5/2021), Almarhum tidak sakit, bahkan kondisi kesehatannya saat dicek, tidak ada masalah, semuanya normal, begitu juga tensi darah normal.

Disclaimer: Artikel ini adalah milik Media Yayasan Islamiyah Al-Jihad Islamic Center. Segala bentuk penyalinan tanpa izin dilarang. Hak cipta © 2025.

Postingan ini telah dibaca 151 kali

Baca Lainnya

Kaligrafi Qur’ani di MTQ XXXIII Kalbar: Tradisi, Kreativitas, dan Tantangan Zaman

17 September 2025 - 20:19 WIB

Kaligrafi Qur’ani di MTQ XXXIII Kalbar: Tradisi, Kreativitas, dan Tantangan Zaman

Pemilih Cerdas: Kunci Untuk Masa Depan Daerah Yang Lebih Baik

29 Mei 2025 - 08:06 WIB

Pemilih Cerdas: Kunci Untuk Masa Depan Daerah Yang Lebih Baik

Menguatkan Kesehatan Mental Anak melalui Keharmonisan Keluarga

29 Mei 2025 - 08:03 WIB

Menguatkan Kesehatan Mental Anak melalui Keharmonisan Keluarga

Mereview Stigma Perempuan Tidak Harus Sekolah Tinggi

29 Mei 2025 - 07:59 WIB

Mereview Stigma Perempuan Tidak Harus Sekolah Tinggi
Trending di Opini
Scroll to top